PENDAHULUAN :
Masalah utama yang masih akan dihadapi oleh bangsa Indonesia ke depan salah satunya adalah masalah pangan. Sedangkan, pangan merupakan kebutuhan yang sangat diperlukan oleh hampir setiap orang. Harga pangan merupakan salah satu gejala ekonomi yang sangat penting di dunia terutama di Indonesia. Kenaikan impor pangan sangat mempersulit perekonomian bangsa dan impor pangan yang meningkat ini, akan memperlemah ekonomi bangsa Indonesia. Selain masalah ketersediaan pangan, hal lain yang menjadi masalah bangsa Indonesia dalam bidang pertanian adalah peningkatan kualitas pangan rakyat. Seperti yang kita ketahui juga bahwa untuk mendapatkan kualitas makanan yang aman merupakan hak bagi setiap orang. Hal ini dinilai penting karena kualitas pangan di Indonesia relatif kurang baik. Padahal, kualitas pangan tersebut sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia baik secara fisik dan kecerdasan karena memenuhi standar gizi. Tidak akan ada perbaikan kualitas SDM negara ini tanpa perbaikan gizi masyarakatnya. (Edward Saleh,Bahan Ajar,2010)
Dalam tulisannya, Arif Satria, Dekan Ekologi Manusia IPB dalam surat kabar media Indonesia tanggal 25 Oktober 2010 mengatakan bahwa harga pangan dunia bisa naik 35 % . Harga benih jagung mungkin naik 36 %, harga benih gandum melonjak 72 %, harga pupuk naik 59 % serta harga pakan terkerek 62%. Begitu pula cuaca ekstrem membuat krisis pangan kian menjadi-jadi. Disisi lain, Badan Pusat Statisktik (BPS) menyampaikan bahwa produksi padi di Indonesia tahun 2010 diperkirakan mencapai 65,15 juta kilogram atau setara dengan 38,3 juta ton. Adapun kebutuhan beras nasional sekitar 32,7 juta ton pada tahun 2010 ini. Artinya, terdapat surplus produksi beras sekitar 5,6 juta. Dengan adanya keputusan Impor beras oleh pemerintah dan seiring harga pangan dunia yang naik maka akan mengancam ketahanan pangan sehingga akan terjadinya krisis pangan di Indonesia tahun depan bahkan selanjutnya
Namun, sayangnya saat ini masih belum diketahuinya langkah yang tepat dalam mengamankan produksi pangan demi mencegah terjadinya krisis pangan. Maka dari itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui langkah yang tepat dalam mengamankan produksi pangan. Selain itu juga untuk menjelaskan ketahanan pangan baik pada tingkat rumah tangga maupun tingkat nasional, mengetahui kaitan antara produksi pangan dalam negeri dengan kesejahteraan petani, mengerahui hubungan perubahan lingkungan strategis dengan ketahanan pangan.
PEMBAHASAN :
Menurut Laporan World Food Program diperkirakan 854 juta jiwa di seluruh dunia terancam kelaparan dan kelompok rawan pangan bertambah sekitar 4 juta jiwa per tahun. Hal ini disebabkan dari beberapa hal seperti pertambahan penduduk, kerusakan lingkungan, konversi laha dan penurunan kualitas pertanian, tingginya harga bahan bakar fosil (Transportasi & Perdagangan Gandum Antar Negara melalui 3885 Km atau mendekati 4 kali panjang Pulau Jawa), perubahan pola konsumsi, pemanasan global dan perubahan iklim, dan kebijakan lembaga keuangan internasional dan Negara maju.
Hal ini tentunya harus diantisipasi oleh Negara Indonesia, sebelum krisis tersebut benar-benar terjadi. Hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu sebelum mencari kebijakan dalam mengatasi ancaman krisis pangan adalah mengetahui terlebih dahulu ketersediaan stabilitas pada ketahanan pangan di Indonesia, sebagai tolak ukur dalam mengantisipasi masalah krisis pangan ini.
a. Ketahanan Pangan
Dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
1. kecukupan ketersediaan pangan
2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan
4. kualitas/keamanan pangan
Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.
Ditinjau dari ketersediaan dan keterjangkauan secara agregat penduduk Indonesia tampak tergolong tahan pangan, namun masih ditemukan rumah tangga rawan pangan di semua propinsi dengan proporsi yang relatif tinggi. Rumah tangga rawan pangan didefinisikan sebagai rumah tangga dengan konsumsi energy 80% dari angka kecukupan energi dan dengan pangsa pengeluaran pangan > 60% dari total pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional(SUSENAS) yang tertuang dalam Nutrition Map of Indonesia tahun 2006, jumlah penduduk rawan pangan terendah ada di propinsi Bali yaitu sebesar 4,8%, dan tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu mencapai 20%. Proporsi penduduk rawan pangan di semua provinsi masih diatas 10%, kecuali di provinsi Sumbar, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahkan di semua propinsi seperti propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan proporsi penduduk rawan pangannya cukup tinggi.
Pola konsumsi yang relatif sama antar individu, antar waktu, dan antar daerah, mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan stok akan berpengaruh pada keseimbangan antara ketersediaan dan keterjangkauan, serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor keseimbangan yang terefleksi pada harga sangat berkaitan dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas pangan tersedia di pasar, namun
apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang tersedia.
Kecukupan ketersediaan pangan
ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan (seperti daerah penelitian) biasanya dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo dkk, 1985:45). Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, seperti cotoh berikut ini.
(a) Di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok (seperti Provinsi Sumsel) digunakancutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapancutting point ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi sebanyak 3 kali.
(b) Di daerah dengan jenis makanan pokok jagung (seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur) digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Ini didasarkan pada masa panen jagung di daerah penelitian yang hanya dapat dipanen satu kali dalam tahun.
Disadari bahwa ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok. Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian. Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan dapat diukur sebagai berikut:
Untuk Provinsi Sumsel, sebagai contoh, dengan beras sebagai makanan pokok:
- Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup
- Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
- Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup.
Untuk Provinsi NTT, sebagai contoh, dengan jagung sebagai makanan pokok:
- Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup
- Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
- Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti persediaan pangan rumah tangga tidak cukup
Stabilitas ketersediaan
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatascutting point (240 hari untuk Provinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penelitian yang dilakukan PPK-LIPI di beberapa daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa mengurangi frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangan mereka (Raharto, 1999; Romdiati, 1999).
Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan penelitian PPK- LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok cukup pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen berikutnya. sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Penetapan indikator stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
(Kabupaten di Provinsi SumSel dan NTT)
b. Produksi Pangandan Kesejahteraan Petani
Produksi padi dihasilkan oleh jutaan petani dengan luas lahan sempit yang dikelola secara tradisional dan subsistem secara turun menurun. Peningkatan efisiensi dengan penggunaan input produksi yang lebih rasional dan pengurangan susut pasca panen merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Selanjutnya, pengembangan lembaga ekonomi petani yang tangguh akan sangat berarti dalam memperbaiki posisi tawar petani padi yang secara individual biasanya sangat lemah. Petani perlu didorong untuk mengembangkan berbagai kemungkinan komoditi pertanian lain yang secara ekonomis menguntungkan jika lahan pertaniannya memungkinkan. Pengembangan pendapatan di luar usaha tani juga akan sangat membantu peningkatan kesejahteraan petani karena terbatasnya potensi pengembangan usaha tani.
Kesejahteraan meliputi dimensi yang luas, namun untuk lebih menyederhanakan persoalan, Variabel yang kerap digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani ialah indeks nilai tukar petani (NTP), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar rumah tangga tani. Berdasarkan tahun dasar 1993=100, nilai tukar petani pada tahun 2003 sekitar 106,9 dan pada tahun 2004 menjadi 103,0 dan pada tahun 2005 menjadi 100,95 atau berturut-turut mengalami penurunan -3,60 persen dan -1,99 persen. Sementara pada tahun 2006 nilai tukar petani sebesar 102.35 mengalami peningkatan 1,28 persen dibanding tahun 2005. Ini menunjukkan bahwa selain kondisi kesejahteraan petani tahun 2006 lebih baik dibanding tahun 1993, juga kondisi petani tahun 2006 lebih baik dibanding tahun 2005.
Meskipun tingkat kesejahteraan petani cenderung meningkat, namun jumlah petani yang tergolong miskin masih cukup besar. Jumlah absolut anggota rumah tangga tani yang masih hidup dalam kemiskinan pada tahun 2002 mencapai 20,6 juta orang. Jumlah tersebut merupakan 82,10% dari 25,10 juta penduduk miskin di perdesaan dan 54% dari 38,40 juta total penduduk miskin pada tahun 2002. Data persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 menunjukkan persentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Sampai akhir 2007 data kemiskinan petani ini tidak mengalami perbaikan. Dari 37,17 juta jumlah penduduk miskin, 63,3% hidup di perdesaan dan sebagian besar mengandalkan sumber kehidupannya dari sektor pertanian.
Hasil survei JPIP dan UP3D-ITS tentang kemiskinan di Jawa Timur pada Agustus 2007 juga membuktikan bahwa permasalahan kemiskinan sangat terkait dengan sektor pertanian.
1. Kantong kemiskinan berada di daerah-daerah yang sangat bertumpu pada sektor pertanian.
2. Hampir separo keluarga miskin di wilayah pertanian dan semi pertanian memiliki tingkat pendidikan tidak sampai tamat SD/MI. Ketiga, keluarga miskin di wilayah pertanian sebagian besar bekerja sebagai buruh tani sebagai pekerjaan utama.
3. Keluarga miskin yang bekerja sebagai buruh tani mempunyai penghasilan antara Rp 100.000 ± Rp 400.000 per bulan, sedangkan yang bekerja sebagai peternak hanya Rp 200.000 per bulan.
c. Kebijakan
Untuk menjamin agar ketahanan pangan dapat berkelanjutan maka pencapaian ketahanan pangan harus diarahkan pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal/domestik, ketersediaan dan distribusi pangan mencapai seluruh wilayah serta peningkatan pendapatan masyarakat agar mampu mengakses pangan secara berkelanjutan yang dapat dicapai melalui berbagai cara diantaranya dengan menggali dan mengoptimalkan potensi sumberdaya pangan lokal. Terdapat tiga komponen kebijakan ketahanan pangan :
1. Ketersediaan Pangan: Indonesia secara umum tidak memiliki masalah terhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi. Lebih jauh jaringan distribusi swasta yang berjalan secara effisien turut memperkuat ketahanan pangan di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakan kunci yang memiliki pengaruh terhadap ketersediaan pangan meliputi:
· Larangan impor beras
· Upaya Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi pangan
· Pengaturan BULOG mengenai ketersediaan stok beras
2. Keterjangkauan Pangan. Elemen terpenting dari kebijakan ketahanan pangan ialah adanya jaminan bagi kaum miskin untuk menjangkau sumber makanan yang mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untuk mencapai tujuan ini ialah dengan memperluas strategi pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum miskin. Kebijakan ini dapat didukung melalui program bantuan langsung kepada masyarakat miskin, yang diberikan secara seksama dengan target yang sesuai. Sejumlah kebijakan penting yang mempengaruhi keterjangkauan pangan meliputi:
· Program Raskin yang selama ini telah memberikan subsidi beras bagi hampir 9 juta rumah tangga
· Upaya BULOG untuk mempertahankan harga pagu beras
· Hambatan perdagangan yang mengakibatkan harga pangan domestik lebih tinggi dibandingkan harga dunia.
3. Kualitas Makanan dan Nutrisi: Hal yang juga penting untuk diperhatikan, sebagai bagian dari kebijakan untuk menjamin ketersediaan pangan yang mencukupi bagi penduduk, ialah kualitas pangan itu sendiri. Artinya penduduk dapat mengkonsumsi nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang mencukupi untuk dapat hidup sehat. Konsumsi pangan pada setiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah meningkat pada jenis-jenis pangan yang berkualitas lebih baik. Namun, seperti catatan diatas, keadaan nutrisi makanan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sejak akhir krisis. Sejumlah kebijakan penting yang berpengaruh terhadap kualitas pangan dan nutrisi meliputi:
- Upaya untuk melindungi sejumlah komoditas pangan penting
- Memperkenalkan program pangan tambahan setelah krisis
- Penyebarluasan dan pemasaran informasi mengenai nutrisi (The World Bank n.d. : 1)
Sepuluh langkah yang disarankan oleh The World Bank dibawah ini mengkaji ulang efektivitas kebijakan di tiga wilayah tersebut diatas dan kemudian mengajukan sejumlah langkah praktis dalam meningkatkan keadaan dan mendorong ketahanan pangan. untuk bisa diterapkan di Indonesia,antara lain :
1. Mengupayakan peran bulog
2. Mengkaji kemungkinan dipisahkannya Badan Ketahanan Pangan Nasional dari Kementerian Pertanian
3. Meningkatkan efektivitas Dewan Ketahanan Pangan di tingkat kabupaten/kota
4. Menghilangkan larangan impor beras
5. Mengubah fokus Departemen Pertanian dari mendorong peningkatan produksi ke perluasan teknologi dan penciptaan diversifikasi
6. Menurunkan biaya raskin
7. Memikirkan kembali stabilitas harga beras
8. Mendukung dan menerapkan peningkatan gizi pada bahan makanan pokok
9. Fokuskan kembali perhatian pada program makanan tambahan
10. Meningkatkan informasi mengenai gizi.
PENUTUP :
Krisis pangan akan selalu menjadi ancaman apabila tidak cepat diantisipasi, banyak hal yang dapat mempengaruhi dan menjadi faktor dalam ancaman krisis pangan ini. Semakin cepat kita mengantisipasi hal ini, semakin cepat juga masalah dalam ancaman krisis pangan ini terselesaikan. Ketergantungan pangan yang sengaja diciptakan makin meleluasakan aksi spekulan dalam meraup laba di tengah penderitaan rakyat-rakyat miskin.
Usaha mengatasi ancaman krisis pangan tidak akan banyak membawa perubahan tanpa disertai perombakan tatanan pertanian, perdagangan, dan keuangan global. Tanpa pembaruan mendasar maka krisis harga pangan dan bencana kelaparan akan selalu menjadi ancaman. Oleh karena itu, agar terhindar dari masalah ini secepatnya melakukan hal sesuai kebijakan dalam meningkatkan ketersediaan dan stabilitas pangan demi mendorong ketahanan pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Satria,2010 Harga Pangan Naik Krisis Mengancam, Surat Kabar Media Indonesia. Hal 16.Terbit tanggal 25 Oktober 2010. Jakarta http://www.scribd.com/doc/40567911/Menghadapi-Ancaman-Krisis-Pangan Diakses tanggal : 28 oktober 2011 pukul 21.51 WIB
________, 2010 Impor Beras Jangan Ditunggangi, Surat Kabar Seputar Indonesia halaman 4. Terbit tanggal 24 Oktober 2010. http://www.scribd.com/doc/40567911/Menghadapi-Ancaman-Krisis-Pangan. Diakses tanggal : 28 oktober 2011 pukul 21.51 WIB
Saleh. Edward, 2010 Program Pangan dan Gizi. Bahan Ajar di STIK Bina Husada http://www.scribd.com/doc/40567911/Menghadapi-Ancaman-Krisis-Pangan. Diakses tanggal : 28 oktober 2011 pukul 21.51 WIB
The World Bank, Pangan Untuk Indonesia
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/feeding.pdf. Diakses tanggal : 28 oktober 2011 pukul 21.51 WIB
Kompas, Hari pangan sedunia (hps): kemiskinan dan ketahanan pangan. Terbit :Selasa, 16 Okotober 2001 . http://www.scribd.com/doc/40567911/Menghadapi-Ancaman-Krisis-Pangan
Tetanel, Yauri, Kedaulatan Pangan & nasib pertanian di Indonesia
http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:CWezoyzmEVEJ:www.faperta.ugm.ac.id/kagama/download/GLOBALISASI_NASIB_SEKTOR_PERTANIAN_%2520INDONESIA.ppt+KEDAULATAN+PANGAN+%26+NASIB+PERTANIAN+INDONESIA&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESjFB9ROm0BaowCU6jqxvXvladbBGj7KAzBK36w9sxe2jEDajvVCcjiS2PnIvN9jqjO5t4yDlxg3e5DGxoShJ5kPWpjGZdHle8eP14c9OBoCGIj5LTKBYkjmUe-_ArIq15ebNj4Z&sig=AHIEtbQOX9mLqErxzd09ecfdzVz4BdX95w. Diakses tanggal : 30 Oktober 2011 pukul 11.49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar